Setiap kami mudik ke kampung
halaman selalu kami menyempatkan untuk mengunjungi kota Padang, kota kelahiran
saya. Kota dimana saya dibesarkan oleh orangtua saya dan banyak cerita yang
dimualai dari kota ini. Saya adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kedua saudara
saya yang lain adalah perempuan. Semenjak kakak saya menikah, ibu tidak bisa
lagi ditinggal sendiri lagi. Kemudian, dengan berat hati kami terpaksa menjual
rumah yang telah kami tempati selama puluhan tahun. Ibu tinggal bersama adik
saya di kota Cilegon dan sekarang kami tidak
lagi mempunyai rumah yang akan kami kunjungi sewaktu berlebaran di Padang.
Sudah dua kali lebaran kami
selalu menginap di hotel setiap kali kami berkunjung ke Padang. Sedih juga sih tapi apa mau dikata. Rumah di kampung
sudah terjual. Kali ini kami mencari
hotel tempat menginap di sebuah situs, hotel yang akan kami inap selama kami
berkunjung di Padang. Kami akan berangkat menuju Padang pada hari kedua lebaran
dan kembali ke Bukittingi keesokan harinya.
Awalnya saya menemukan hotel yang
cukup murah di daerah Andalas Padang, akan tetapi karena terlalu banyak
berpikir-pikir akhirnya hotel tersebut sudah fully book. Akhirnya kami menginap di Pangeran City hotel, hotel
yang berada di tengah kota Padang disebelah Bank plat merah.
Kami berangkat ke Padang sesudah
melaksanakan sholat Shubuh. Jalanan di kampung Bunda masih sepi, sehingga saya
bisa memacu kendaraan. Perjalanan sampai Padang Luar bisa di tempuh dengan
singkat. Sesudah itu kendaraan sudah mulai ramai di kedua arah. Saya mengikuti sebiah mobil didepan saya yang
cukup lincah dalam memacu mobil. Dengan adanya teman seperjalanan membuat saya
lebih enjoy mengendarai mobil.
Sesampai di Lembah Anai, sudah
banyak kendaraan yang parkir di bahu jalan yang membuat jalan menjadi sempit.
Jalanan sudah ramai dan untuk menyalip
kendaraan didepanpun sudah agak susah. Padahalnya biasanya pada tahun lalu
masih gampang melewati.
Mendekati Lubuk Alung kendaraan
terhenti sejenak menjelang memasuki Pasar Lubuk Alung akibat kendaraaan yang melambat
mendekati Pasar dan setelah itu kendaraan bisa dipacu kembali tapi tidak
tertalu kencang karena kendaraan sudah sangat ramai sekali.
Masuk ke kota Padang jalanan
sudah menjadi dua jalur dan saya bisa melewati kendaraan didepan dengan mudah.
Jam 6.30 sudah bisa sampai ke Padang. Kami kemudian berhenti di Pasar Lubuk Buaya untuk membeli titipan dari keluarga saya, yaitu asam kandis, mie dan kering. Tidak lama Bunda belanja disana. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju kota Padang.
Hanya Nabil yang turut serta pada perjalanan kali ini |
Bagian dalam mesjid |
Nabil juga turut serta melongok bagian dalam Mesjid |
Kami singgah dahulu ke Mesjid Terbesar
yang berada di kota Padang, yaitu Mesjid Raya Sumatra Barat yang berada di
Khatib Sulaiman. Mumpung masih sepi kami menyempatkan diri untuk singgah
sebentar. Melihat mesjid kebanggaan warga Sumatra barat. Mesjid yang desainnya
diambil dari Lambang rumah adat Sumatra Barat.
Tidak lupa saya ingin melongok kedalam mesjid ini. Desainnya bagus tidak
kalah dengan mesjid di Lombok. Saya juga melihat tempat wudu’nya, akan tetapi ketika saya melihat kamar mandinya tidak
bersih terawat. Sayang sekali. Untuk pemandangan dibelakang Mesjid sangat indah,
terpampang deretan Bukit Barisan yang berjejer ditambah sebuah rumah adat
Minang yang berdiri kokoh. Sepertinya itu adalah sebuah gedung perkantoran
pemerintahan.
Deretan bukit yang berbaris menghiasi pemandangan belakang Mesjid ini |
Ini gedung apa yah? |
Bagian dalam kamar kecil |
Masih dalam kamar kecil |
Tempat berwudu' |
Bagian luar Mesjid |
Pintu masuk kedalam Mesjid |
Ini Mesjid kebanggan warga Sumatra Barat |
Dari sisi yang lain |
Kemudian kami melanjutkan
perjalan, kami singgah dahulu di SD Adabiah dimana saya pernah bersekolah
sampai kelas 5. Sudah banyak perubahan di lokasi ini. Kami hanya meihat dari
luar sekolah saya. Saya memberitahukan kepada Nabil kalau disinilah Ayahnya
dahulu sekolah.
Papan nama sekolah saya yang sudah berganti dengan hanya SMP |
Pintu masuk ke sekolah |
Perjalanan diteruskan ke Simpang Haru. Tujuan pertama kami adalah untuk menikmati Lontong Sayur yang biasa kami
nikmati ketika kami ke Padang. Padahal kami telah melewati sate Samsulir yang
telah menjadi langganan keluarga kami puluhan tahun. Berhubung Bunda tidak mau
ya kami langsung menuju lokasi penjual Lontong Sayur langganan.
Terpaksa kami makan disini |
Tugu saya lewati setiap berangkat dan pulang sekolah dan kuliah |
Lontong sayur yang masih tutup |
Malang tidak dapat ditolak.
Penjual lontong sayur yang dituju masih tutup dan hanya penjual yang berada diseberang
jalan yang sudah buka. Saya tidak
menyerah kemudian mencari penjual lontong lain yang sudah buka dan tetap tidak
ada hasil yang memuaskan.
Kami kembali ke penjual lontong sayur tadi untuk sarapan, Kami
bertiga memesan lontong sayur. Ternyata, Nabil ternyata tidak mau menghabiskan
bagiannya, terpaksa dengan terpaksa saya yang menghabiskan makananya
(alesan….). Kemudian Nabil mau makan nasi goreng. Setelah dipesankan, tapi tetap
tidak habis.
Berhubung rumah makan belum
banyak yang belum buka di pagi dan kalaupun menuju hotel kami akan tetap
ditolah, maka kami bertiga mengujungi rumah tetangga saya di Padang. Maksud
hati sekalian bersilahturahmi. Rumah Da
Is menjadi tujuan pertama kami. Disini kami dijamu oleh Nasi goreng mie, yang
katanya menu ini lagi hits di Padang. Kembali saya makan dengan lahap hehehe.
Setelah itu kami bergerak ke gang sebelah dimana rumah saya berada. Kujungan
kami dimulai ke rumah Wid dan dilanjutkan kerumah Ibu Lyra. Mereka ini sudah
saya anggap seperti keluarga sendiri. Sudah puluhan tahun kami bertetanga dan
hidup bertetangga dengan damai. Sudah banyak penduduk yang disekitar rumah kami
yang pindah. Sayang sekali saya tidak mengambil foto saat berkunjung ke sini.
Insya Allah. Kalau masih ada umur saya akan mengambil foto bersama.
Papa Da Yos dan Wid |
Inilah rumah kami yang bersejarah bagi kami sekeluarga |
Kami menyudahi kunjungan keluarga
ini dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan selanjutnya yaitu es Durian Iko
gantinyo yang berada di jalan HOS Cokroaminoto. Perjalanan kami mulai dari Aur
Duri – Air Camar – Gantiang – Alang lawas – Simpang Kinol. Sesampainya kami
direstoran ini. Kami hanya memesan es Duren saja, untuk makanan akan dicoba
dilokasi lain. Memang hanya es Durian lah yang khas disini.
Saingan es Durian Iko Gantinyo |
Pesanan kami |
Kalau yang ada es creamnya punya Nabil |
Pengamen kreatif yang kami temui di sana |
Papan mama Warung Es Durian |
Tidak lama menikmati es
Durian disana, perjalanan kami lanjutkan ke daerah Pulau Karam di sebelah
Jembatan Siti Nurbaya untuk membeli oleh-oleh untuk tentangga di Bekasi nun
jauh disana. Saya sengaja tidak membeli oleh-oleh di toko yang terkenal, karena
terlalu ramainya pembeli disana. Mending beli disekitarnya saja. Harganya juga
tidak beda jauh bahkan sama.
Pendagang yang masih berjualan |
Ada juga pedagang ikan segar |
Kami hanya berfoto diatas mobil |
Pantai Padang yang masih terlihat kotor |
Ini lambangnya mencurigakan |
Waktu masih menujukkan jam 12
siang, jadi kami belum bisa masuk kedalam hotel. Kami kemudian memutuskan untuk
makan siang di restoran soto Garuda yang seingat saya berada di jalan Patimura.
Saya mengarahkan kendaraan menuju Pantai Padang. Sekalian lewat Pantai Padang
yang katanya sudah berubah mana. Saya memulai menyusuri pantai dari Jalan Muara dan masuk kedalam Samudera sampai
diujung jalan ini. Saya melihat pantai Padang masih belum terlalu bersih
mungkin ini karena hari Raya, sehingga Pemko memberi ijin sementara bagi
penjual makan itu. Kemudian saya menuju jalan Patimura untuk makan soto akan
tetapi soto yang dituju tidak lagi sana.
Papan nama warung soto |
Tampilan sotonya dan rasanya mantap |
Kondisi didalam warung |
Akhirnya kami teringat kana soto rekomendasi
da Is didekat Apotik Kinol. Yaitu Soto Roda Baru. Lumayan ramai kondisi
pengunjung rumah makan ini. Kami mengambil duduk didalam rumah makan dan
memesan soto dua porsi dan tidak lama kemudian pesanan kami datang dan kami
langsung melahapnya.
Rasa soto disini juga enak sepeti
soto Garuda yang pernah kami makan di Patimura bahkan lebih enak dari pada Soto
Simpang Karya. Rasa kuahnya sangat enak dan juga jumlah dagingnya banyak dan
ada juga yang garing seperti kerupuk. Satu porsi dihargai 25rb. Berganti-ganti
pengunjung yang masuk kedalam restoran ini.
Selesai makan kami langsung
menuju ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah makan ini. Kami sampai di
hotel pada jam 13.45 masih kurang dari jam yang seharusnya tapi kami sudah bisa
melakukan check in. Kami langsung
masuk ke kamar yang telah kami sewa. Kamar dengan alas karpet yang lumayan lega
luasan kamarnya. Lebih luas daripada kamar yang kami sewa tahun lalu dan juga lebih
murah hargaya. Nabil dengan bahagianya langsung mencuci kaki dan naik keatas
kasur dan menonton tivi. Sedangkan saya langsung mandi karena badan sudah tidak
enak rasanya. Setelah itu bunda mengikuti juga mandi.
Tidak lama kami
berbincang-bincang sambil tiduran dikamar, akhirnya kami semua tertidur pulas.
Kami terbangun pada waktu mendekati jam 17.00 sore. Sangat nyenak sekali tidur
kami kali ini. Rencananya malam ini kami akan menikmati kuliner malam di
Martabak Kubang Jalan M Yamin.
Setelah melaksanakan ibadah sholat
magri kami berangkat meninggalkan hotel untuk makan malam. Kami ingin melihat
kota kelahiran saya saat malam hari. Saat sampai di Restoran Martabak Kubang
langganan, ternyata masih belum buka, akan tetapi ada dua penjual pengganti
yang berjualan didepan restoran tersebut. Keduanya bersaing untuk mendapatkan
pembeli. Daripada tidak makan, bunda
duduk di sebuah meja dan memesan martabak kesukaan bunda.
Restoran Kubang yang tutup (feat pedagang pengganti) |
Pedagang pengganti lain (yang kami pilih) |
Tampak sampingnya |
Martabak yang sudah dimakan separuhnya |
Tidak lama pesanan makanan kami
pun datang dan kami menyantapnya dengan semnagat. Dari segi rasa , martabak
kubang yang kami nikmati tidak beda jauh dari yang pernah kami nikmati. Jadi
kami tidak mengalami rugi menikmati masakan penjual ini. Daging yang ada di
dalamnya pun cukup banyak.
Untuk menuju ke hotel harusnya
dekat, akan tetapi saya salah mengambil jalan dan diarahkan masuk ke Pasar Raya
yang semrawut oleh pedangang. Saya kaget dengan semrawutnya kota Padang. Apakah
selalu seperti ini. Jalan yang biasanya dilewati dua mobil dengan lega sekarang
hanya bisa dilalui satu kendaraan saja dan itupun sempit. Kesemrawutan ini
berakhir di Jalan Permindo. Setelah itu baru jalanan mulai lancar.
Saya kembali lagi ke Jalan M. Yamin untuk kembali ke hotel kali ini kami singgah sebentar di Mesjid Taqwa
Muhammadiyah untuk membeli nasi bungkus langganan saya. Yaitu Ampera
Singgalang yang kebetulan sekali saat itu sudah berjualan. Bunda membelikan
saya nasi bungkus dengan menu dendeng.
Setelah mengantarkan Bunda ke
Hotel saya masih melanjutkan perjalan untuk bertemu teman kuliah di sebuah
rumah makan di kota Padang. Saya kemabli menikmati sate Padang, karena yang dijual disini kebanyakan bukan asli makanan Suatra Barat. Temu kangen kami ini selesai jam 00.00 tengah
malam. Ini juga karena saya yang membubarkan diri alias pamit duluan, kalau tidak saya bakalan sulit
bangun pagi. Soalnya pagi besok sudah berangkat lagi ke Bukittinggi.
Sate pesanan saya yang tampilananya sederhana |
Sesampai di Hotel saya sedikit kesulitan untuk mencari lokasi parkir mobil ternyata hotel ini juga penuh
dengan kendaraan tamu hotel yang menginap. Mobil saya akhirnya diparkirkan
diluar area hotel. Sesampai dikamar saya langsung melahap nasi bungkus yang
telah dibeli sebelumnya.
Rasa nasi bungkus Ampera ini
memang berbeda sekali dengan rasa nasi yang telah saya makan di Bekasi atau
Jakarta. Sangat–sangat jauh sekali nikmatnya. Enah apa yang membuat rasa nasi
bungkus di Sumatra berbeda jauh rasanya kalau sudah di jawa.
Keesokan paginya jam 7 pagi kami
sudah bersiap-siap untuk balik ke Bukittinggi, kami tidak ingin bermacet-macet
ria untuk menuju Bukittingi. Biasanya sesudah hari raya banyak orang yang akan
berjalan-jalan menikmati liburan mereka, dan tujuannya biasanya adalah
Bukittingi.
Setelah saraparan di hotel, kami
bergerak menuju kota kelahiran bunda. Perjalanan menuju Lubuk Alung masih terbilang
ramai lancar. Kendaraan semakin lama semakin ramai. Akhirnya di Sicincin kami
mengambil jalur alternatif melalui Malalak.
Perjalanan melalui jalur alternatif
ini sangat lancar sekali djalan hanya kami berdua (dengan kendaraan lain) yang
bergerak menuju Bukitingi. Jalanan yang masih mulus dan pemandangan yang tidak
kalah indahnya dengan jalur utama Padang Bukittinggi. Kekurangan dari jalur ini
adalah jalannya yang sering mengalami longsor dan ada beberapa titik yang masih
belum selesai pembesannya serta kalau malam hari dan hujan sering ada kabut.
Jadi tidak direkomendasi kalau dilewati malam hari dan hujan deras. Sedangkan
kekurangannya yang lain adalah jalur keluar menuju Bukittingi yang masih kecil
sekali. Kalau sudah ada yang mogok maka akan macet kebelakang.
Kami sampai kembali dengan
selamat di Bukitinggi jam 10.00 pagi. Semoga kami bisa mengulangi hal ini tahun
depan.